20 Jun 2013

MENOLAK LUPA

"Munir : Badan Kecil, Nyali Besar"

Pirang, kecil, berani dan brilian. Ya mungkin itu kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sosok yang satu ini. Pirang karena ciri khas rambutnya selalu berwarna kemerah-merahan. Kecil, karena tubuhnya yang memang tidak terlalu tinggi bahkan terlihat lemah tetapi berani dengan lantang berteriak meyuarakan keadilan di depan serdadu-serdadu bertubuh besar yang menenteng senjata, juga brilian dengan ide, pemikiran, dan cara-caranya dalam mengungkap kasus dan membantu para korban HAM di Indonesia. Sembilan tahun sudah bangsa ini ditinggal seorang pahlawan HAM yang dikenal karena kerap bersikap frontal terutama terhadap pihak-pihak berwenang yang bertindak sewenang-wenang.

Kita tahu Indonesia memiliki banyak sekali kasus-kasus yang mencoreng nama HAM di negeri ini, terutama yang terjadi di era pemerintahan H.M Soeharto. Dan kebanyakan kasus tersebut terjadi dengan adanya keterlibatan pihak militer yang sayangnya para korbannya adalah para rakyat biasa yang hanya menginginkan adanya kebenaran bagi negaranya sendiri. Dan Munir adalah salah satu dari segelintir orang yang berani bertahan melawan walaupun nyawalah yang menjadi ancamannya. Rezim orde baru dikenal dengan rezim yang banyak mewarisi produk-produk kekerasan yang mungkin sampai hari ini masih kuat memberikan pengaruhnya sehingga masih banyak kita temui pelanggaran-pelanggaran terhadap kaum lemah oleh kelompok yang berkuasa. Dan untuk menghadapi semua itu modalnya adalah keberanian, seperti berikut ini adalah kutipan dari Alm. Munir tentang apa arti rasa takut bagi dirinya, “Aku harus bersikap tenang walaupun takut … untuk membuat semua orang tidak takut.. Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasikan rasa takut ” . Dari situ kita bisa tahu bahwa Munir pun sebenarnya memiliki rasa takut tetapi dia berhasil untuk mengalahkan rasa takut tersebut.

Munir adalah sosok yang bersahaja, walaupun dia sering diundang ke berbagai negara dan sering menginap di hotel berbintang dengan biaya dari lembaga-lembaga yang mengundangnya, Munir tetap bersikap biasa saja tidak pernah bercerita tentang kebanggaannya tentang pengalaman-pengalamannya itu. Bahkan Munir setia bepergian dengan motor bebek tua kemanapun ia pergi.

Ada cerita lucu yang pernah dialami Munir di hotel tempatnya menginap, suatu saat Munir datang ke sebuah hotel di bilangan Sudirman, Jakarta, dan lewat di depan hotel tersebut tiba-tiba saja seorang satpam datang sambil menegur secara kasar. Helm yang dipakai disuruh dicopot dan jaketnya dipegang oleh sang satpam, satpam itu dengan nada membentak berkata bahwa motor tidak boleh lewat di depan lobby hotel. Sebagai tamu yang sedang menginap di hotel tersebut, tentu saja Munir marah. Ia langsung turun dan memukul satpam tersebut seraya menanyakan di mana komandan satpamnya. Setelah dijelaskan, barulah satpam tersebut meminta maaf. Pernah juga Munir diundang untuk mengisi suatu acara di sebuah hotel sekaligus menginap di hotel tersebut, tetapi Munir tiba-tiba meminta maaf untuk tidak bisa mengikuti acara karena, “Gimana aku mau nginap di hotel itu, kalau dulu aku membela para karyawannya yang di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) ?” Hati kecilnya merasa tak nyaman jika ia menikmati kemewahan hotel tersebut sementara dulu ia berhadapan dengan manajemen hotel akibat banyaknya karyawan yang di-PHK. Terlihat dari bagaimana konsistensi dan komitmen seorang Munir terhadap apa yang diyakini dan dikerjakannya.

Munir adalah sosok yang tidak mudah dilupakan, dia tampil memerangi ketidakadilan, memperjuangkan nasib mereka yang tertindas, dari nasib seorang buruh perempuan bernama Marsinah sampai nasib para aktivis yang hilang saat Soeharto terdesak untuk mundur pada tahun 1998, dia gigih membela warga dan masyarakat yang menjadi korban bom demi bom dan pelanggaran HAM. Kritis tentang perang di daerah konflik, seperti Timor Timur, Aceh dan Papua, dengan menyelidiki dan menggugat ulah oknum yang berkuasa. Seperti yang digambarkan oleh Sidney Jones dari International Crisis Group, Munir memiliki segala hal yang harus dimiliki oleh seorang pejuang HAM. Dia berprinsip teguh, tegar, cerdas, lucu dan tak kenal takut. Dia menantang orang-orang yang tengah berkuasa, membuat mereka marah, mendapat ancaman demi ancaman dan tak pernah menyerah.

Pada 7 September 2004, di sebuah pesawat Garuda menuju Amsterdam kejadian tragis terjadi. Seorang pejuang Indonesia di era modern gugur di udara, pada usia 38 tahun Munir diracun dengan racun bernama arsenik. Dicurigai racun ini “diberikan” pada Munir pada saat perjalanan dari Jakarta ke Singapura. Ia meninggalkan seorang istri bernama Suciwati yang sampai saat ini tetap teguh untuk terus berusaha mengungkap kasus pembunuhan yang merenggut suaminya ini. Dua orang anak yang masih membutuhkan sosok seorang ayah seperti Munir. Dan tentu saja ia meninggalkan negeri ini yang masih banyak memiliki utang-utang kebenaran dan keadilan terhadap mereka yang telah menjadi korban kekerasan atau pelanggaran HAM juga terhadap keluarga dari korban HAM itu sendiri.

Banyak hal menarik dari pernyataan-pernyataan yang pernah diutarakan Munir, contohnya tentang cinta, ia mengatakan tanpa cinta, manusia hanya sekadar hidup, bukan bertumbuh. Tanpa cinta, manusia hanya sekadar bergerak, bukan berkembang. Coba kita simak langsung pandangan dia selanjutnya tentang cinta, perkawinan, dan jodoh. “Kawin itu bukan cita-cita, melainkan sesuatu yang datang sendiri dan nggak bisa dihindari. Kawin datang ketika cinta dan kontraktual untuk bersama ditemukan. Cinta dan perkawinan itu bukan soal fisik, melainkan kebenaran dalam kejujuran menemukan kesesuaian. Ok, jangan berdoa untuk dapat jodoh, tapi berdoalah untuk kebenaran. Karena di situ, cinta akan ditemukan”

Munir memang telah tiada, tetapi sesuai dengan namanya ia selalu menerangi para pejuang-pejuang muda penerusnya. Semoga kisah ironis seperti yang dialami menjadi yang terakhir kalinya terjadi di negeri kita ini, karena menurut sebuah pepatah “Negeri yang membiarkan pejuangnya teraniaya di negerinya sendiri adalah negeri yang sakit” 

* Terinspirasi dari buku "Sebuah Kitab Melawan Lupa"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recommend on Google